Senin, 25 Juli 2016

KERAJAAN KEDIRI





KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Berdirinya Kerajaan Kediri
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian.  Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.

Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.

Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.

Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.

Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268 1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

Perkembangan politik kerajaan kediri
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala.  Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.

Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.

SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN KEDIRI
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan , adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah:
Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu
Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.

Kameshwara
Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai kameshwara I (1115 – 1130 ). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.

Jayabaya
Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.

Prabu Sarwaswera
Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . Tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.

Prabu Kroncharyadipa
Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai plemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk), masarya (iri hati).
margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
Srengga Kertajaya
Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.

Pemerintahan Kertajaya
Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.


Kehidupan sosial masyarakat kerajaan kediri
Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.

Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M.  Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam  lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2. Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
3. Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.

Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.

Kondisi Ekonomi pada Jaman Kerajaan Kadiri
Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.

Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri
Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:
a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala
b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Kadiri Menang.Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.

Prasasti Jepun 1144 M

Prasasti Talan 1136 M Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan.

Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.

Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M. Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri.

Runtuhnya Kediri
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.

Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.

makam poncowati



Punden Makam Poncowati Juwah
Kepung Kediri

Selamat pagi sobat Blogger, karena saya
nglilir (baca : terbangun) sekitar satu
jam tadi, maka saya manfaatkan untuk
posting di blog History kediri, kali ini saya akan posting
mengenai punden berupa makam yang
dikenal dengan nama Punden Mbah
Poncowati dan lokasinya berada di
tengah persawahan di area Desa Juwah
Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri,
Desa Juwah sendiri letaknya berdekatan
(istilahnya tonggo desa/tetangga desa)
dengan Desa Siman dimana di Desa
Siman terdapat Prasasti Mbah Gurit,
Monumen Harinjing dan Punden Bogor
Pradah
Mbah Poncowati ini dikenal sebagai
saudara dari Mbah Poncotoyo yang
pundennya ada di kramatan (baca :
makam) yang berada di Desa Siman,
menurut legenda penduduk setempat
(Desa Siman) pada jaman dahulu ada
empat pendekar yaitu Raden Poncotoyo,
Raden Poncowati, Raden Poncolegowo
dan Raden Anengpati yang mbabat alas
atau membuka hutan untuk dijadikan
permukiman/desa, namun keempat
pendekar ini kemudian berpisah untuk
babat alas di tempat/daerah yang lain.
Berikut sedikit kisah mengenai keempat
tokoh diatas yang salah satunya adalah
Mbah Poncowati..
Konon ketika terjadi peperangan yang
dipimpin oleh Pangeran Diponegoro
pada tahun 1825 1830 dan akhirnya
Sang Pangeran menunai kekalahan
akibat penghianatan Kolonial Belanda
dan akhirnya para pengikutnya
bertebaran ke berbagai daerah demi
keamanan dan kesinambungan
perjuangan mereka.
Salah satu dari para prajurit Pangeran
diponegoro adalah Raden Poncoreno
putra seorang Demang yang menjabat di
wilayah Kadipaten Kediri. Raden
Poncoreno melangkahkan kaki
menyusuri daerah selatan Pulau Jawa
dan beliau singgah di kediaman
Kakeknya yaitu seorang Tumenggung di
wilayah Kadipaten Tulungagung yang
bernama Raden Tumenggung Suratani
II.
Raden Poncoreno mendapat petunjuk
dari kakeknya untuk mencari dan
tinggal di wilayah tepi sungai Konto di
utara Gunung Kelud. Sang Tumenggung
mengenal tempat tersebut ketika
ayahnya yaitu Raden Tumenggung
Suratani I mendapat tugas dari kerajaan
untuk berperang mendamaikan wilayah
Kadipaten Malang. Raden Poncoreno
akhirnya mengikuti petunjuk kakeknya
dan melanjutkan perjalananya sampai
di wilayah tepi Sungai Konto yang
tepatnya di wilayah Taman Wisata
Selorejo yang pernah dijadikan Padang
Golf.
Beliau tinggal di sana hingga
mendapatkan banyak anak cucu dan
kerabat. Raden Poncoreno mempunyai
empat orang saudara 1. Raden
Poncotoyo (Mbah Karsiman) tinggal di
Desa Siman, 2. Raden Anengpati (Mbah
Jimat) tinggal di Desa Keling, 3. Raden
Poncolegowo (Mbah Macan Wulung)
tinggal di Wonosalam, 4. Raden
Poncowati (Mbah Patih) tinggal di Desa
Juwah. (sumber dari sini )
Berikut dokumentasi Punden Makam
Poncowati yang sempat saya abadikan,
dan kondisi punden ini begitu apa
adanya (baca : tidak terawat), oiya saya
ke punden ini ditemani oleh adik saya
yang bernama Suwaji yang bertindak
sebagai guide dan memberikan sedikit
cerita mengenai keberadaan punden ini.
Demikian sobat Blogger, posting hasil
klutusan telusur budaya dan sejarah di
Desa Juwah Kecamatan Kepung
kabupaten Kediri, semoga postingan ini
bermanfaat bagi kita semua agar ikut
serta nguri - uri atau memelihara benda
peninggalan sejarah masa lalu dan
(semoga) dapat mengungkapkan benang
merah mengenai kejayaan Kerajaan
Kediri masa lalu... Salam Sejarah dan
Budaya. Kediri Jayati


Minggu, 24 Juli 2016

Makam ki boncolono




Legenda Ki Boncolono (Maling
Genthiri/Robin Hood) Kediri

Selamat pagi sobat blogger, di pagi yang
cerah ini telusur budaya dan sejarah
kembali posting mengenai suatu legenda
yang termasyur di Kediri dan peristiwa
ini terjadi pada masa penjajahan
kolonial, legenda tersebut adalah
mengenai Ki Boncolono, kisah
selanjutnya yang saya ambil dari
berbagai sumber adalah sebagai
berikut...
Pada masa penjajahan tersebutlah
seorang pendekar yang sangat sakti
mandraguna yang sepak terjangnya
sangat mengganggu kolonial yang
menduduki wilayah Kediri, pendekar
tersebut bernama Ki Boncolono dan
dibantu oleh Tumenggung Mojoroto dan
Tumenggung Poncolono, ketiga pendekar
ini tidak tahan melihat penindasan
kolonial terhadap rakyat Kediri maka
yang dilakukan oleh three musketeer ini
adalah mecuri dana menjarah harta
kolonial dan saudagar kaya untuk
selanjutnya dibagikan kepada rakyat
miskin yang membutuhkan, sebutan
rakyat Kediri kepada para pendekar
tersenut adalah Maling Genthiri atau
jika di kisah film barat adalah Robin
Hood kali yaa :)
Nah pendekar ini tentu saja tidak
ditakuti oleh rakyat karena
kehadirannya membawa berkah dan
sangat ditunggu aksi sepak terjangnya
oleh rakyat Kediri, namun tidak
demikian dengan kolonial yang merasa
sangat terganggu dengan sepak terjang
the three musketeer ini, singkat cerita
kolonial menyewa pendekar lokal yang
mau menjilat dan mendukung kolonial
untuk imbalan sejumlah uang dan harta,
oiya kesaktian Ki Boncolono adalah jika
beliau terkepung maka dimana saja
beliau bersembunyi maka akan langsung
hilang, entah itu di pohon atau di
tembok dan dimana saja. Selain itu
kesaktian Ki Boncolono adalah jika ada
salah satu bagian tubunhya terpotong
maka jika menyentuh tanah dengan
segera bagian tubuh itu akan menyatu
kembali seperti sediakala, mungkin
sobat ingat film Jaka Sembung yang
mempunyai musuh tangguh bernama Ki
Hitam dengan ilmu yang bernama Rawe
Rontek..mungkin seperti itulah
gambaran kesaktian Ki Boncolono,
bedanya Ki Boncolono berada di garis
putih sedangkan Ki Hitam berada di
garis hitam.
Singkat cerita lagi, para pendekar
pribumi penjilat kolonial yang
mengetahui kelemahan Ki Boncolono
segera menyusun strategi untuk
menyerang Ki Boncolono dan seperti
biasa kisahnya adalah Ki Bonolono
tertangkap dan dengan mudah dapat
dihabisi kolonial dengan dibantu para
pendekar pribumi yang berkhianat pada
bangsa dan rakyatnya sendiri,
pemakaman Ki Boncolono dilakukan
terpisah, konon menurut legenda, kepala
Ki Boncolono dimakamnakn di suatu
tempat yang berada di Kota Kediri
(selatan Kediri Mall/Sri Ratu, sekarang
yang ada Transmart) yang terkenal
dengan sebutan Ringin Sirah
(Ringin=Pohon Beringin dan
Sirah=Kepala), sedangkan tubuhnya
dimakamkan di Bukit Mas Kumambang
yang berada di sebelah utara Goa
Selomangleng dan berada di depan (di
Timur) Gunung Klothok
Demikian sobat blogger, postingan
telusur budaya dan sejarah kali
ini..semoga dapat membawa manfaat
bagi kita para generasi saat ini yang
ingin tahu mengenai sejarah leluhur kita
jaman dahulu, selamat pagi dan selamat
beraktivitas

Sabtu, 23 Juli 2016


SEJARAH WISATA WADUK SIMAN

Pada kesempatan kali
ini, ingin berbagi mengenai tempat
wisata waduk siman di Kediri
dulur. Waduk Siman di Kecamatan
Kepung, Kediri, Jawa Timur. Waduk
ini diperkirakan (para ahli sejarah)
telah ada sejak zaman Mpu Sindok
(kerajaan Mataram Kuno era Jawa
Timur). Di sekitar waduk ditemukan
sejumlah prasasti, salah satunya
Prasasti Harinjing yang berisi
mitigasi bencana gunung berapi
sejak 894 Masehi, berupa
pembuatan sudetan sungai yang ada
di waduk ini.
Waduk Siman merupakan tempat
alternative wisata yang ada di
kabupaten Kediri. Waduk Siman
terletak di desa Siman kecamatan
Kepung sekitar kurang lebih 35 km
dari pusat pemerintahan kabupaten
Kediri. Di samping berfungsi
sebagai irigasi pertanian ,waduk
Siman ini terdapat pula PLTA
Siman. Waduk ini menampung air
dari Waduk Selorejo, yang mengalir
ke wilayah Kabupaten Kediri.
Untuk menuju ke waduk Siman
memang agak susah. Dulur harus
bertanya-tanya arah ke waduk
Siman kepada warga yang ada di
sepanjang jalan. Terutama warga
yang ada di kecamatan Kepung.
Karena memang tidak ada penunjuk
arah menuju Waduk Siman seperti
tempat wisata yang ada di
kabupaten Kediri lainnya.
Memasuki area waduk Siman para
dulur tidak ditarik tiket masuk alias
gratis. Pengunjung bisa menikmati
pemandangan pegunungan yang
indah dengan sepuasnya.  Selain itu
pengunjung yang mempunyai hobi
mancing bisa mancing beraneka
ikan air tawar seperti ikan mujair,
ikan nila, wader dan sebagainya di
tempat ini.
Nah hari Sabtu dan hari Minggu
merupakan hari yang ramai
dikunjungi wisatawan ke tempat
waduk Siman ini baik yang datang
dari sekitar kecamatan Kepung atau
dari luar daerah seperti dari
Jombang. Kec.Pare maupun Kota
Kediri, dan daerah lainnya.
Namun di waduk Siman belum
dilengkapi dengan fasilitas umum.
Seperti tidak adanya tempat duduk
untuk menikmati alam pegunungan
yang begitu indah, sehingga
wisatawan hanya bisa berdiri
menikmati alam di waduk Siman.
Saran saya bagi para dulur yang
mau kesini, silahkan bawa alas
duduk sendiri dari rumah.hehe
Disini juga belum teerdapat toilet
dulur, jadi sediakan payung yah
kalau mau kesini.hehe, nah sekian
dulu lur. Semoga kunjungan kalian
ke waduk ini, sukses.

Sejarah kota kediri

Sejarah Kota Kediri

Semula Kediri juga sebagai pemukiman perkotaan
diawali saat Airlangga memindahkan pusat
pemerintahan kerajaannya dari Kahuripan ke
Dahanapura, menurut Serat Calon Arang.
Dahanapura (” Kota Api “) setelah itu lebih di
kenal juga sebagai Daha. Sepeninggal Airlangga,
lokasi Medang dibagi jadi dua : Panjalu di barat
serta Janggala di timur. Daha jadi pusat
pemerintahan Kerajaan Panjalu serta Kahuripan
jadi pusat pemerintahan Kerajaan Jenggala.
Panjalu oleh penulis-penulis periode terakhir juga
dikatakan sebagai Kerajaan Kadiri/Kediri, dengan
lokasi kurang lebih Kabupaten Kediri hingga
Kabupaten Madiun saat ini.
Sejak Kerajaan Tumapel (Singasari) menguat,
ibukota Daha terserang serta kota ini jadi
kedudukan raja vazal, yang selalu berlanjut
sampai Majapahit, Demak, serta Mataram.
Kediri jatuh ke tangan VOC juga sebagai
konsekwensi Geger Pecinan. Jawa Timur ketika
itu dikuasai Cakraningrat IV, adipati Madura yang
memihak VOC serta inginkan bebasnya Madura
dari Kasunanan Kartasura. Lantaran Cakraningrat
IV hasratnya tidak diterima oleh VOC, ia
memberontak. Pemberontakannya ini dikalahkan
VOC, dibantu Pakubuwana II, sunan Kartasura.
Juga sebagai pembayaran, Kediri jadi sisi yang
dikuasai VOC. Kekuasaan Belanda atas Kediri
selalu berjalan hingga Perang Kemerdekaan
Indonesia.
Perubahan Kota Kediri jadi swapraja diawali saat
diresmikannya Gemeente Kediri pada tanggal 1
April 1906 menurut Staasblad (Lembaran Negara)
no. 148 tertanggal 1 Maret 19065. Gemeente ini
jadi tempat kedudukan Residen Kediri dengan
karakter pemerintahan otonom terbatas serta
memiliki Gemeente Raad (” Dewan Kota “/DPRD)
sejumlah 13 orang, yang terbagi dalam delapan
orang kelompok Eropa serta yang disamakan
(Europeanen), empat orang Pribumi (Inlanders)
serta satu orang Bangsa Timur Asing. Juga
sebagai penambahan, menurut Staasblad No. 173
tertanggal 13 Maret 1906 diputuskan biaya
keuangan sebesar f. 15. 240 dalam setahun.
Baru mulai sejak tanggal 1 Nopember 1928
menurut Stbl No. 498 tanggal 1 Januari 1928,
Kota Kediri jadi ” Zelfstanding Gemeenteschap
” (” kota swapraja ” dengan jadi otonomi penuh).
Kediri pada saat Revolusi Kemerdekaan
1945-1949 jadi satu diantara titik rute gerilya
Panglima Besar Jendral Sudirman.
Kediri juga mencatat histori yang kelam juga saat
masa Pemberontakan G30S PKI lantaran banyak
masyarakat Kediri yang turut jadi korbannya,
pada Peristiwa Kanigoro 1965.
Demikian sejarah kota kediri yang kami sajikan
secara singkat, semoga bermanfaat…

Situs semen

Pada tanggal 18 November 2009 di desa Semen
Kec. Pagu - Kab. Kediri telah ditemukan
peninggalan sejarah , letaknya tak jauh dari
petilasan Sri Aji Joyobhoyo. Peninggalan Sejarah
itu dinamakan Situs Semen .Situs ini berupa 2
arca jaladwara , Garuda wisnu kencana ( dewa
Wisnu naik Garuda ) yang merupakan wujud
pendewaan Raja Airlangga, dan beberapa
tembikar.
Ketika saya berkunjung di situs ini , saya banyak
sekali bertanya pada Dosen saya
,sebut saja namanya pak pandu.Dari beliau saya
banyak sekali mendapatkan keterangan tentang
situs semen ini , baik itu sejarahnya maupun
fenomena ghoibnya, namun mengenai fenomena
ghoib yang beliau ceritakan tidaklah saya angkat
pada tulisan singkat ini.
Pada minggu pagi jam 10.00 WIB , saya dan kawan -
kawan mencoba berkunjung ke tempat ini
setelah sebelumnya berziarah di petilasan sri Aji
joyobhoyo dan petilasan Resi Mayangkoro, karna
saat itu kita memang melakukan observasi tentang
keberadaan situs tersebut yang baru ditemukan
oleh warga. Dengan mengucapkan salam pada
Juru kunci dan pengunjung tempat tersebut ,
kemudian duduk di tempat yang telah disediakan
lalu sembari melontarkan
beberapa pertanyaan kepada pak pandu selaku pemateri observasi situs semen ini. Dengan bahasa indonesia, beliau menerangkan beberapa hal yang
berkaitan dengan situs ini.
Karena berdekatan dengan Petilasan Sri Aji
Joyoboyo, banyak pihak mengira bahwa situs ini
merupakan peninggalan Kerajaan Kadiri. Namun
kalau melihat adanya arca Wisnu Naik Garuda/
Garuda wisnu kencana , kemungkinan besar usia
situs ini jauh lebih tua, yaitu pada masa era
Raja Airlangga. Arca Wisnu Naik Garuda sendiri
merupakan wujud pendewaan Airlangga.
Setelah BP3 menemukan keramik masa Dinasti
Yuan di sekitar situs, BP3 memastikan bahwa
Situs Semen merupakan peninggalan Kerajaan
Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan
bahwa situs ini berusia jauh lebih tua dari
Majapahit dan terus digunakan hingga pada
masa majapahit. Hal ini lumrah terjadi dan
contohnya bisa kita lihat pada Candi Gurah dan
Candi Tondowongso, Candi Penataran serta
Candi Brahu.
Lokasi situs semen kini banyak dimanfaatkan
masyarakat yang ingin ngalap berkah dari
keberadaan bangunan situs.Dan hal ini bisa kita
lihat sendiri bila kita berkunjung ke sana.

Situs adan adan

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit
Arkenas) melakukan ekskavasi di situs candi
Adan-Adan Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri.
Ekskavasi di kebun durian milik Syamsuddin ini
dilakukan untuk meneliti tentang peradaban era
Kadhiri dan Singosari, Sabtu (9/4).”Sebelum
melakukan penggalian ini kita melakukan survei
di beberapa tempat di Kediri. Dari beberapa
lokasi situs Candi Adan-Adan ini yang potensial.
Karena ada peninggalan bentuk makara, yang
masih ada dan menunjukkan bahwa ini adalah
candi. Makara pasangannya kala, biasanya kan
kalau direlung-relung posisinya Kala atas makara
di samping-sampingnya. Tetapi kalau yang di
ambang pintu seperti di Situs Adan-Adan ini
Kalanya di atas pintu candi kemudian
makarannya di pintu tangga,” kata Sukawati
Susetyo, ketua tim ekskavasi dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional pada
merdeka.com.Ditambahkan Sukawati, karena
jarak Makara sama sama dan arah
menghadapnya biasanya candi di Jawa Timur
menghadap ke barat ini juga. Buntutnya di
timur, agak serong kanan maka dapat dipastikan
bahwa ini adalah struktur candi.Meski ekskavasi
sudah dilakukan namun Puslit Arkenas belum
bisa memastikan peninggalan di era apakah
situs Candi Adan-Adan ini.
“Mudah-mudahan peradaban Kadiri, karena kita
belum bisa menentukan masa Kediri atau
Mataram Hindu. Ini berbeda agak mirip dengan
Candi Kidal, di Tumpang Malang,” tambah
Sukawati.
Dari pantauan merdeka.com Puslit Arkenas
sudah melakukan layout untuk persiapan
penggalian sejak Rabu (7/4). Mereka
memberikan tanda dari benang yang di kotak-
kotak untuk memprediksi titik-titik candi yang
lain.
Selain itu dengan mengambil tenaga masyarakat
untuk proses penggalian dengan pengawasan
ketat.Alat penggalian semacam bor tanah,
linggis berukuran kecil, cetok, cangkul, sikat
juga dipakai untuk proses ekskavas ini.
“Cukup tidak cukup penggalian hingga tuntas ini
akan kita lakukan selama dua minggu. Dan jika
nanti diteruskan mungkin tahun depan,”
ujarnya.Dari sumber merdeka.com, ekskavasi ini
bukan yang kali pertama dilakukan, namun
sudah beberapa kali dilakukan salah satunya
dari BPCB Trowulan Kediri.
Namun sayangnya antara BPCB Trowulan dan
Puslit Arkenas kurang adanya komunikasi dan
terkesan berjalan sendiri-sendiri. Sebab jika
BPCB sudah melakukan ekskavasi makan akan
meninggalkan catatan laporan yang bisa
dipelajari sebagai pelengkap data, sebab Puslit
Arkenas tidak mendapatkan laporan.
Sementara itu Syamsuddin pemilik lahan yang
menjadi situs Candi Adan-Adan mengaku
mendapat pemberitahuan mendadak jika ada
akan diadakan penggalian situs Candi Adan-
Adan yang berada di pekarangannya. “Tiba-tiba
saya didatangi oleh orang Pemkab, Pak Camat,
Kepala Desa dan tim Puslit Arkenas yang
menyatakan akan dilakukan penggalian di
pekarangan saya untuk penelitian. Saya sempat
kaget sebab dilakukan mendadak dan tidak ada
pemberitahuan surat resmi. ” kata Syamsuddin
yang mengaku hanya mendapatkan kompensasi
senilai Rp 1.000.000 dari Puslit Arkenas untuk
penggalian ini.Meski Syamsuddin menyadari
bahwa penelitian ini dianggap penting, namun
apa yang dilakukan Puslit Arkenas diminta tidak
merusak tanaman durian berbagai jenis varian
yang dia tanam. “Kalau pohon-pohon durian
saya rusak ini namanya merugikan. Saya
berharap ada saling pengertiannya sebab jika
tanaman saya rusak kompensasi yang diberikan
sangat tidak seimbang,” kata Syamsuddin pada
merdeka.com.

Candi tegowangi

Candi Tegowangi merupakan Candi Hindu,
terletak di Desa Tegowangi , Kecamatan
Plemahan. Menurut kitab Pararaton , candi ini
merupakan tempat pendharmaan Bhre Matahun .
Sedangkan dalam Kitab Negarakertagama
dijelaskan bahwa Bhre Matahun meninggal
tahun1388 M. Diperkirakan candi ini dibuat pada
tahun 1400 M dimasa kerajaan Majapahit . Di
badan candi juga dihiasi relief cerita Sudamala
yang berjumlah 14 panil yang sangat indah

Bentuk
Secara umum candi ini berdenah bujursangkar
menghadap ke barat dengan memiliki ukuran
11,2 x 11,2 meter dan tinggi 4,35 m.
Pondasinya terbuat dari bata sedangkan batu
kaki dan sebagian tubuh yang masih tersisa
terbuat dari batu andesit. Bagian kaki candi
berlipit dan berhias. Tiap sisi kaki candi
ditemukan tiga panel tegak yang dihiasi
raksasa (gana) duduk jongkok; kedua tangan
diangkat ketas seperti mendukung bangunan
candi. Di atasnya terdapat tonjolan - tonjolan
berukir melingkari candi di atas tonjolan
terdapat sisi genta yang berhias.
Pada bagian tubuh candi di tengah-tengah
pada setiap sisinya terdapat pilar polos yang
menghubungkan badan dan kaki candi. Pilar-
pilar itu tampak belum selesai dikerjakan. Di
sekeliling tubuh candi dihiasi relief cerita
Sudamala yang berjumlah 14 panil yaitu 3
panil di sisi utara, 8 panil di sisi barat dan 3
panil sisi selatan. Cerita ini berisi tentang
pengruatan (pensucian) Dewi Durga dalam
bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma
dalam bentuk baik yang dilakukan oleh
Sadewa , tokoh bungsu dalam cerita Pandawa.
Sedangkan pada bilik tubuh candi terdapat
Yoni dengan cerat (pancuran) berbentuk
naga.
Dihalaman candi terdapat beberapa arca yaitu
Parwati Ardhenari , Garuda berbadan manusia
dan sisa candi di sudut tenggara. Berdasarkan
arca-arca yang ditemukan dan adanya Yoni
dibilik candi maka candi ini berlatar belakang
agama Hindu.
Lokasi Wisata
Candi Tegowangi menepati sebuah areal yang
cukup luas dan terbuka. Areal wisata
arkeologi ini juga terawat dengan baik, tidak
terlihat sampah bertebaran kecuali daun-daun
kering pepohonan dalam jumlah yang juga
tidak terlalu banyak. Didekat gerbang masuk
anda akan menjumpai sebuah peternakan
lebah milik penduduk setempat yang bisa
dijadikan nilai tambah tersendiri saat
berkunjung.